LEAVE MY LOVE STORY








 PART I
 
BEE POV

     Sudah seminggu ini aku terus menangisi kepergiannya. Rasaku mengatakan dia belum bisa melupakanku , tapi sikapnya memperjelas dia sudah rela melepasku. Belum ada satu bulan akhir ceritaku dan ceritanya tapi ku dengar dia sudah mempunyai kekasih baru. Semakin hancur hatiku mendengar kabar dari mulut kemulut. Ingin aku membencinya tapi apa daya, jika aku tidak sanggup. Aku paksa? Hal itu akan lebih menambah rasa sakit dan menyesakkan hatiku. 

"Kok diem Be! Gak asik ya, liburan kita?" Kata Lien yang dari tadi menyimakku.

"Asik kok Lie, aku lagi pengen nikmati suasana sejuk hari ini." Balasku sambil menyeduh teh panas.

     Semua temanku memanggilku Be, padahal nama asliku Amabel Acelin Angela. Lien adalah sahabatku semenjak aku masuk SMA . Aku memang belum terlalu mengenal Lien tapi dia teman yang baik dan bisa membuatku bahagia dan mengalihkan fikiranku dari David, si cowok brengsek perusak hidupku.

       Musim liburan yang cukup panjang karena liburan kenaikan kelas. Tapi aku dan Lien hanya menghabiskan waktu satu minggu disini. Kita pergi di pegunungan yang banyak di tumbuhi tanaman teh. Untung saja nenek Lien tinggal di sini jadi kita tidak terlalu repot untuk mencari tempat penginapan. Suasana di sini sangat cocok dan sangat pantas untuk orang yang belum bisa move on sepertiku. Gimana mau move on, kesalahan itu selalu terbayang dalam fikiranku. Menghantui di setiap pagi dan malamku. Terkadang aku terlena tapi selintas kejadian itu terfikirkan.

      Semua kawanku selalu menyuruhku melupakan, melupakan, dan melupakan. Tapi aku tidak bisa dipaksa untuk melupakan semuanya dengan sekejap, sampai batinku teraniaya. Ini susah karena sakit hatiku terlalu mendalam. Memang aku tidak ingin balas dendam kepadanya, tapi aku hanya ingin dia sadar tentang perasaan yang tersakiti ini. Setidaknya dia pergi dengan cara yang sopan dan mengatakan maaf untuk perbuatannya.

***

     Keadaan kamar sangat sepi, tapi Lien datang saat aku sedang asik menulis diaryku. Dia memang ingin mengetahui apa yang aku fikirkan, karena aku sering terlihat frustasi sendirian. Lien sering menanyakan, tapi aku selalu menghindar bahkan mengalihkan pembicaraannya. Tapi hari ini Lien tahu apa yang aku sering fikirkan.

"Be ..." Ucap Lien dari balik punggungku.

"Lie? Sudah berapa lama kau ada di belakangku?" Balasku kaget.

"Sejak pertama kali kau goreskan tinta di kertas putih itu." Lien memegang bahuku. Terlihat jelas rautnya mengatakan rasa kekecewaannya.

"Lie?" Mataku mulai berkaca kaca.

       Lien memelukku dengan erat, air mataku mengalir tanpa aku bisa mengontrolnya. Lien mengusap punggungku untuk menenangkanku. Memang aku wanita cengeng tapi setidaknya aku bisa menahan sakit ini. Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi dengan Lien, aku hanya diam dan menundukan kepalaku. Lien sama sekali tidak bersuara, keadaan di kamar ini semakin sunyi. Aku pergi tidur dahulu, Lien menengok kearahku dan menatapku tapi aku tak berani membalasnya. Mukaku terlalu malu dan takut untuk memandangnya. Aku takut jika dia tahu ini semua, dia tak mau berteman dengankulagi.

***

LIEN POV

        Keesokan pagi aku menghampiri Be yang duduk di kursi dekat kebun teh. Dia memejamkan mata dan mendengarkan musik menggunakan hadphone. Dia terlihat tenang, tapi aku sebagai temannya merasaka badai dalam dirinya. Memang kemarin malam aku sengaja tidak mengajaknya bicara karena aku ingin dia tenang. Dan hari ini aku harus bertanya pada Be dan senantiasa membantunya meringankam beban yang ia pikul. Bahkan aku akan lebih senang jika dia senangtiasa membaginya denganku. Aku baru akan memegang bahunya tapi dia sudah sadar dengan kedatanganku di belakangnya. Wajahnya flat, sama sekali tak ber exspresi. Tanpa berkata apapun dia menggeser duduknya, ini kode kalau aku di persilahkan duduk.

"Ceritalah Be, setidaknya aku bisa lebih meringankan bebanmu." Be hanya tertunduk, dan mengalirkan butiran air.

"Apa kamu masih mau menjadi temanku jika aku bercerita denganmu?" Jawab Be sambil menutupi rautnya dengan rambut yang tergerai panjang.

       Be menceritakan semuanya setelah aku bisa menyetujui kalau aku akan tetap menjadi teman baiknya yang senang tiasa ada di sampingnya. Selama mengenalnya, dia sudah telihat sosok yang aneh dengan kebiasaanya yang konyol dan tiba-tiba diam tanpa kata, tapi ramah dan senang membantu, dia sosok teman idaman. Sungguh laki-laki bodoh yang bisa-bisanya meninggalkan perempuan seperti Be. Mendengar cerita Be aku sangat tak menyangka dengan apa yang telah ia lakukan dengan David, tapi untung saja Be belum sampai kelewatan batas yang bisa menimbulkan masalah besar. Hal gila menurutku mengingat umurnya yang sangat masih remaja.

       Be menangis terus menerus setelah dia menceritakan hal itu. Aku mengulurkan tanganku, di fikiranku terlintas bukit indah yang menjulang tinggi. Memang sangat exstrem tapi setidaknya disini dia bisa meneriakkan segala pilu dalam hatinya selama ini. Udara yang sangat cocok untuk menenangkan derita hidup, hembusan angin dan bau segar embun, pohon-pohon yang hijau, bahkan langit yang biru, begitu indah dan tenang dan pastinya sepi hanya suara burung, riuk pohon, dan semilir angin.

***

BEE POV

     Aku mencurahkan semua sakit dalam hatiku pada dunia ini, bahwa aku sakit dengan penghianatan David. Angin terus menghapas mukaku, ku pejamkan mata dan aku berteriak sekencang mungkin sampai sakit ini musnah dan tidak terasa lagi dalam hati yang membuatku sesak.

"Sudah tenang Be?" Kata Lien dari balik punggungku.

"Iya Lie." Aku mengusap air mataku.

" Ayo pulang, biyarkan sakit hatimu terhempas oleh angin dan di bawa sejauh mungkin. Sekarang kamu harus bahagia Be, hidupmu masih panjang." Lien menggengam tanganku memberiku energi untuk bangkit dari keterpurukan ini. Lien mengajakku meninggalkan tempat ini. Karena nenek pasti sudah menunggu kita untuk makan siang.

      Melupakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup memang sangat sulit, apalagi diriku yang sudah melakukan hubungan yang sangat jauh. Entah dulu setan apa yang merasukiku sampai-sampai itu kulakukan dengannya . Hal yang sama-sama kita setujui dan bahkan itu dengan rasa saling cinta. Cinta bisa menjadi iblis bahkan bisa menjadi malaikat. Cintaku kepada David membuatku tenggelam di lubang hitam, kebodohan yang tidak aku sadari.

     Bunyi kereta api membuyarkan lamunku. Hari ini aku akan pulang kekota penuh misteri itu. Membawa sosokku yang berbeda dengan sahabatku, Lien. Ya, semenjak di sana aku sudah berjanji pada Lien kalau akan mengubah hidupku dan tidak memikirkan David lagi, dan di sana aku dan Lien berjanji menjadi seorang sahabat yang senang tiasa saling terbuka dan saling tolong-menolong.

***

LIEN POV

      Aku resah dengan sikap Be yang tenang dari tadi, aku takut tiba-tiba jiwanya keganggu karena terlalu sering memikirkan masa lalunya. Jika aku di posisinya mungkin aku juga akan seperti Be hanya diam dengan seribu pertanyaan di dalam otakku. Untungnya Dio tidak sekejam David, aku berdoa Be akan mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada David.

"Beee ayoo... Kereta kita sudah datang!!! Cepet...ayo buruan Be." Menarik tangan Be.

"Sabar Lie, sakit tahu tanganku kamu tarik-tarik!" Mulut kecil Be mengercut. Saat seperti inilah sahabatku ini sangat menggemaskan.

"Iya maaf." Melepaskan tangannya. Lalu menariknya kembali supaya dia tambah kesal.
"Liee....kok kamu jahat sih....sakittt....tahuuu..." Be diam dan memegang pergelangan tangannya. Sedangkan pintu gerbong kereta hampir saja tertutup.

"Jangan melamun, cepet masuk.. kalau kamu enggak mau ketinggalan kereta... Beee...." Dia melamun dan mematung di tempatnya tadi. Saking sebelnya aku melemparnya dengan botol air mineral yang telah habis isinya.

"Toookkkkk......." Tepat sasaran. "Aduh sakitttt........ Liennn!!" menunjukku. "Tunggu gw Lie...." Be berlari karena menyadari kalau pintu gerbong hampir tertutup. Aku manariknya dan alhasil dia bisa masuk kereta meskipun pantatku yang jadi sasarannya karena menariknya lalu terjatuh.

"Dasar lu kerjaannya ngelamun melulu. Apa sih yang lu pikirin? Heh?" Aku berteriak sekeras toak.

"Zzzz..." Menutup mulutku. "Please!!! Diem dan segera duduk Lie. Malu diliatin orang-orang" 
Matanya mengitari ruangan di dalam gerbong ini. Karena merasa malu, akhirnya aku dan Be duduk di kursi penumpang, yayalah masa di kursinya masinis.

         Di sepanjang perjalanan dalam kereta, ku lihat Be selalu memandang kaca, mendengarkan hadphone terkadang melihat ke Hp nya. Sepertinya dia sedang melihat fotonya dengan David. Aku semakin kasihan dengan Be kalau terus terusan begini, ingin rasanya aku menerkam muka David lalu ku bawa di depan Be, untuk melihat betapa sengsarannya sahabatku. Memang aku belum mengenal David dengan baik dan hanya mengenal sebatas kenal saja, andai aku tahu kebusukannya pasti pipinya akan ku beri tanda lima jariku.

"Kamu masih bisa-bisanya mikirin cowok brengsek itu?" Mengambil alih Hp Be, tapi dia hanya membalas dengan senyuman kecil.

"Setidaknya ini kali terakhirnya aku memandang fotonya dan terakhir kalinya aku mengingat kalau dia pernah jadi bagian terpenting di hidup ini."

"Kamu harus janji, kalau ini terakhir kalinya kamu mikirin dia! Janji dulu! Dan asal kamu tahu ini demi kebaikan sahabatku." Memeluk Be yang sekarang ada di sebelahku. Untung saja tempat dudukku dan Be tidak berhadapan dengan orang.

"Terimakasih Lie." Ucapnya lirih yang samar-samar aku dengar.

"Iya, inilah gunanya sahabat. Tetap jadi yang terbaik ya Be?" Melepaskan pelukanku dan Be hanya mengangguk dengan wajah tenangnya.

         Lalu Be kembali keaktivitasnya melihat luar jendela dengan telinga yang di bumpat hadphone. Wajahnya sangat tenang dengan mata yang bercaya, bibir mungil yang terkunci rapat, sepertinya dia sedang merangakai kata perpisahan untuk David. Lelah sendiri ngeliatin Be yang seperti itu mending aku memajamkan mata.

***

BEE POV

        Akhirnya sudah sampai ke kotaku, badanku pegal-pegal karena 5 jam duduk di dalam kereta. Ku lihat Lien masih dalam kondisi tidur, padahal sudah sampai. Tak terasa dari tadi aku tidak bisa tidur hanya bisa memandangi luar jendela, seakan aku melihat moment-momentku dengan David. Semua telah berlalu begitu saja. Ibaratnya kereta ini adalah penghapus besar yang menghapus semua masalaluku dengan David. Membayangkannya membuatku tidak bisa menahan air mataku, bahkan saat bayangan itu mendekat, terutama wajahnya yang selalu terngiang dalam ingatanku, pelukkannya yang akan selalu kudapat saat aku berada di dekatnya, tapi sekarang aku hanya bisa meraba kaca kereta ini, membiyarkan semua lepas. Aku hanya bisa tersenyum tipis membiyarkan hari-hari laluku pergi termasuk luka laluku.  

"Lie bangunn.... Sudah sampai!!! Kalau kamu enggak bangun aku tinggal disini sendiri! Dasar kebo." Tertawa.

Lien mengusap matanya lalu terbangun dengan wajah heran melihatku. Mungkin dia heran melihatku ceria lagi. Lien tersenyum, lalu....

*PLakk.. !!!

"Aduhhh, sakit tahu!" Keluhku.

"Maaf,,maaf... Aku takut kalau kamu gila. Kalau kamu kayak gini aku seneng Be. Bahagialah Be, jangan biarin masa-masa mudamu kagak bahagia." Cecap Lien sambil senyum-senyum.

Ya memang aku memutuskan untuk menghilangkan semua tentang David. Merubah hidupku yang sangat kacau karena di tinggalkan sosoknya. Setelah itu kita berpisah di pertengahan jalan menuju rumah ku dan Lien. Ku lihat dia sangat lelah begitupun aku ingin menghempaskan tubuhku di atas ranjang lalu memejamkan mataku yang dari tadi hanya bisa terjaga karena tangis.
"Akhirnya sampai rumah juga." Dalam hati.

Tiba-tiba ibu membukakan pintu rumah. Mungkin insting ibu kuat kalau aku sudah pulang. Ku dengar ada suara mobil yang sedang berhenti di depan rumahku. Lalu kulihat seorang laki-laki tampan, tinggi, gagah, berkulit sawo matang turun dari mobil dan membukakan pintu mobil. Entah siapa yang akan keluar dari dalam mobil itu. Aku kaget saat ibu tersenyum di depanku.

"Ya ampun bu." Keluhku sambil memasuki rumah, karena aku lelah dan aku ingin menghempaskan tubuhku di atas kasur empuk. Tapi ibu menarik tanganku.

"Jangan masuk rumah dulu, sapa teman ibu dulu."

"Be capek bu." Kataku pelan dan memasang muka lesu, tapi ibu tetap saja menyuruhku untuk menyapa 2 orang itu.

Tante Herlin adalah teman ibu semenjak SMA. Beliau dan ibu sudah seperti saudara, karena pertemanan mereka awet sampek tua. Dan ku harap persahabatanku dengan Lien juga seperti itu. Tapi aku tidak tahu siapa laki-laki yang bersama tante Herlin itu. Setahuku tante Herlin mempunyai anak perempuan yang lebih tua dari aku, tapi kok ini yang muncul malah laki-laki. Tapi wajah laki-laki itu tidak asing untukku, sepertinya aku pernah dekat dengannya tapi aku sama sekali tidak ingat.

"Wah Be udah tumbuh dewasa dan cantik." Kata tante Herlin pada ibu.

"Udah gede Lin, tapi masih suka ngambek kayak dulu." Tawa kecil ibu membuatku sebal.

"Be baru dari mana? kok bawak tas gede segala." Tanya tante Herlin heran.

"Habis dari puncak, di ajak temennya." Kata ibu yang langsung nyaut.

" Ayo masuk Lin." Lanjut ibu.

Ibu dan tante Herlin berbincang-bincang sedangkan laki-laki yang ada di sebelah tante Herlin hanya terdiam, terkadang ikut tertawa karena celotehan ibu yang tidak ada gunanya menurutku. Ya..yalah enggak ada gunanya, orang ibu ngebicarain soal sikap konyolku, jadi buat aku ilfil aja. Keberadaanku di sini semakin membuatku tidak tahan. Aku ingin mandi, mengganti pakaian, makan lalu tidur. Tapi gara-gara 2 orang ini datang, aku belum sempat menyapa kamarku.

"Hmmmm..." Gumamku untuk memberhentikan obrolan ibu dan tante Herlin, meskipun kurang sopan.

"Ohya sampai lupa, ini kenalin anak tante, Brando. "

"Duhh.. Ni tante pakek acara kagak peka. Aku kan ingin istirahat, bukan kepingin kenalan sama anaknya." Gumamku dalam hati,

"Hah..? Anak? Bukkannya anak tante cewek ya?" Ceplosku yang asal saja, tapi memang kata ibu anak tante Herlin itu cewek.

"Ya kan Lin, sifat Be masih tetap. Dia masih suka nyeplos asal-asalan." Tambah ibu sebal pada sikapku, lalu aku beri wajah cemberut.

"Tapi memang benar kan bu.. Ibu sendiri lo yang bilang." Jawabku tidak mau kalah.

"Ini juga anak tante, tepatnya anak ke dua tante. Anak tante yang perempuan beda 1 tahun dengan Brando, sekarang anak perempuan tante udah kerja jadi dokter di luar pulau jawa. Mungkin ibumu lupa tante juga punya anak cowok." Tante Herlin tertawa kecil, yang membuatku semakin malu.
Tante Herlin mengedipkan matanya dan tiba-tiba anak laki-lakinya mengulurkan tangannya dan mulutnya tersenyum. Manis sih tapi aku tidak tertarik dengannya.

"Brando." Suara bariton yang sangat gagah.

"Amabel Acelin Angela, panggil aja Be." Kataku jutek."Maaf boleh saya izin untuk ganti pakaian?" Memotong pembicaraan ibu dan tante Herlin.

"Jangan lama-lama Be, kasihan Brando kalau sendirian."

"Iya bu." Tersenyum lalu meninggalkan mereka.

***


Khusus untuk ini saya akan lanjutkan di WATTPAD, kalian yang pengguna wattpad bisa mengikuti cerita saya di @ChocoTa. 

Semoga harimu si pembaca menyenangkan >hug you gaes




Semua hak cipta di lindungi undang-undang ©




0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog